Kamis, 26 Januari 2012

Sedekah Bumi Betiring




Rabu (26/11), ratusan warga Dusun Betiring, Desa Banjarsari, Gresik menggelar ritual sedekah bumi. Kendati sudah ratusan tahun digelar, tapi tetap menarik dan berpotensi dijadikan objek wisata.

Ritual diawali Kamis (20/11) malam saat itu, kaum laki-laki melaksanakan ’nyekar’ ke makam Kiai Ageng Betiring dan Makam Kanjeng Sunan Giri berada di Komplek Pemakaman Sunan Giri. Dilanjutkan ‘nyekar’ ke komplek makam leluhur yang diberi nama Kulahan.

Hubungan Kiai Ageng Betiring dengan Sunan Giri adalah sebagai abdidalem sekaligus penasehat. Konon beliau mendapat tugas menyiarkan agama Islam di beberapa tempat di Gresik. Bahkan, saat perang dengan Kerajaan Brawijaya, Kiai Ageng Betiring melatih warga desa sekitar menjadi prajurit.

Kemudian, Rabu pagi sekitar pukul 06.00 WIB dengan arak tabuhan 'bende', pusaka yang berupa gong kecil, oleh Ki Priambodo, 65, sesepuh desa untuk mengumpulkan masyarakat desa. Setelah berkumpul, Pri -begitu sesepuh itu dipanggil- membuka payung pusaka. Payung dan bende diarak berkeliling kampung sambil membaca Sholawat Nabi yang dikahiri di lokasi hajatan, perempatan Betiring.

Siangnya, sekitar pukul 09.00 WIB, setiap kepala keluarga mengeluarkan aneka jajanan dari hasil bumi yang dihias di ancak. Ancak-ancak yang jumlah sekitar 500 tersebut dijajar dari empat penjuru mata angin di perempatan Dusun Betiring. Di setiap jalurnya, tertata dua baris ancak. Di tengahnya duduklah pemilik dengan tikar seadanya.
 Sekilas memang seperti ritual sedekah bumi biasa. Ada jajanan dihadiri para pejabat muspida hingga muspika. Ada sambutan bergantian dan dilanjutkan dengan tukar jajanan yang dibawa para warga sebagai tanda syakur kepada Allah SWT. Nmaun, bila ditelaah secara seksama ritual warga Betiring tersebut berpotensi untuk dijadikan objek wisata.
 Keunggulannya, kendati digelar ratusan tahun lalu, namun tetap terjadi nilai history budayanya. Selain jajanan hasil bumi yang disuguhkan punya keunikan dan kekhasan, ritual tersebut juga merupakan bagian dari peninggalan Bupati Gresik pertama, Kanjeng Ngabehi Tumenggung Pusponegoro (1617 Masehi).
 Ki Priambodo menurturkan, konon ritual itu ada sebelum bende dan payung. Kian bernilai sejarah, setelah ada bende dan payung peninggalan bupati pertama. Kbetulan bende dan payung itu melambangkan kesejahteraan warga Betiring. Ritula itu sendiri bertujuan sebagai rasa syukur atas melimpahnya hasil bumi warga Betiring yang didominasi bertani dan berkebun.
 "Pusaka bende dan payung berumur sekitar 290 tahun. Sebagai rasa terimakasih hadiah dari bupati itu kami pakai sebagai bagian kegiatan sedekah bumi," kenang Pri.
 Adapun keunikan dan kekhasan lain adalah ancak. Ancak terbuat dari kayu sebagai lambang papan. Kemudian, setiap ancak ada empat rengginang (kerupuk dari ketan) sepanjang 1 meter yang dibentuk menyerupai tanduk kerbau yang diletakkan di empat pojok yang dilambangkan kesuburan. Sebab, kala dulu masyarakat Betiring membajak sawahnya dengan menggunakan kerbau.
 Ancak itu berisi beraneka makanan dan minuman yang bersumber pada hasil alam. Aneka buah dan jajanan anak-anak dapat ditemui. Karena banyaknya jajanan, ancak tersebut perlu diusung 2 orang. Banykanya jananan tersebut nilai semua ancak hingga sampai Rp1 juta dan paling rendah Rp300 ribu.

“Setiap rancangan ancak menghabiskan dana sekitar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Bahkan ada yang ancaknya menghabiskan dana lebih dari Rp1 juta,” aku Moh Qosim, 41, warga RT II Betiring.

Kendati habis hingga jutaan, ritual yang jatuh setiap penanggalan 27 Dulkangidah menjadi hari yang istimewa bagi warga Betiring. Di hari yang diyakini keramat itu tak satupun warga turun ke sawah. Bahkan beberapa warga yang bekerja dinas, memilih meliburkan diri.

Hal itulah yang membuat Bupati Robbach Ma'sum mengusulkan supaya ritual tersebut dikonsep yang lebih baik. Nantinya dapat dijual sebagai objek wisata kebangaan Gresik. "Ritual ini dapat dijadikan sebagai objek wisata," katanya dalam sambutannya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar