Sabtu, 24 September 2011
sejarah kota jogja
Sejarah Kota
SEJARAH KOTA YOGYAKARTA Hit: 49904Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.
Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.
Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.
TEMPAT WISATA DI JOGJA
Kaliurang
Kaliurang yang secara harfiah dalam bahasa indonesia berarti “sungai udang“, adalah sebuah tempat wisata yang terletak di provinsi yogyakarta. Persisnya Kaliurang terletak di kabupaten sleman,
di perbatasan dengan provinsi jawa tengah.Akses menuju ke Kaliurang
sangat mudah. Setidaknya dengan jalan kaki atau menumpang angkutan bus,
kol (Colt), taxi, ojek atau becak (jarang yang mau), melewati Jalan
Kaliurang. Kaliurang adalah sebuah resor atau tempat peristirahatan
karena sejuknya udaranya.
Maka di sini didapatkan banyak vila-vila penginapan, kebanyakan orang
sektar menyebutnya wisma. Tempat yang paling banyak dikunjungi oleh
wisata baik dalam maupun luar negeri adalah Tlaga Putri.
Kaliurang terletak dikaki bukit plewang arah selatan dari merapi.sekitar
28km ke utara dari jogja. Daerah ini merupakan tempat refresing untuk
mereka yang ingin menikmati udara segar dan hijaunya pepohonan. Sebagai
objek wisata pegunungan, Kaliurang menawarkan fasilitas akomodasi,
villa, bungalow, penginapan seperti halnya fasilitas rekreasi, seperti
kolam renang, lapangan tenis, dan taman bermain yang dikunjungi banyak
orang.Ketika cuaca baik, Penglihatan yang menakjubkan akan panorama yang
diselimuti hutan dari plewangan dan kaliurang, dan hijaunya sisi
pedesaan dapat dilihat bahkan birunya samudra Indonesia dapat kita
lihat. saat paling tepat untuk melihat panorama adalah saat pagi hari
ketika matahari terbit
Parangtritis
Parangtritis, adalah sebuah tempat pariwisata berupa
pantai pesisir Samudra
Hindia yang terletak kurang lebih 25 kilometer sebelah
selatan kota Yogyakarta.
Parangtritis merupakan objek wisata yang cukup terkenal di yogyakarta selain
objek pantai lainnya seperti Samas, Baron, Kukup Krakal dan Pantai Glagah.
Parangtritis mempunyai keunikan pemandangan yang tidak terdapat pada objek
wisata lainnya yaitu selain ombak yang besar juga adanya gunung – gunung pasir
yang tinngi di sekitar pantai, gunung pasir tersebut biasa disebut gumuk. Objek
wisata ini sudah dikelola oleh pihak pemda Bantul dengan cukup baik, mulai dari
fasilitas penginapan maupun pasar yang menjajakan souvenir khas parangtritis.
Selain itu ada pemandian yang disebut parang wedang konon air di pemandian
dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit diantaranya penyakit kulit, air dari
pemandian tersebut mengandung belerang yang berasal dari pengunungan di lokasi
tersebut. lokasi lain adalah pantai parang kusumo dimana di pantai tersebut
terdapat tempat konon untuk pertemuan antara raja jogjakarta dengan ratu laut
selatan. Penduduk setempat percaya bahwa seseorang dilarang menggunakan pakaian
berwarna hijau muda jika berada di pantai ini. Pantai Parangtritis menjadi
tempat kunjungan utama wisatawan terutama pada malam tahun baru Jawa (1
muharram/Suro). Di Parangtritis ada juga kereta kuda atau kuda yang dapat
disewa untuk menyusuri pantai dari timur ke barat.(1)
Selain dikenal keindahan alam pantainya,
juga terkenal sebagai tempat yang memikili berbagai peninggalan sejarah.
Komplek Parangtritis terdiri dari Pantai Parangtritis, Parangkusumo, dan
Dataran Tinggi Gembirowati. Di Parangkusumo terdapat kolam permandian air panas
( belerang ) yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit dalam. Kolam
ini diketemukan dan dipelihara oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Adanya komplek
kerajinan kerang, hotel bertaraf Internasional ( Queen of South ), serta dokar
wisata di Parangtritis ikut menyemarakkan pariwisata di wilayah ini. Komplek
wisata ini dapat dicapai melalui dua jalur, Jalur pertama lewat jembatan
Kretek, yang kedua lewat Imogiri dan Siluk . Lokasi di Desa Parangtritis,
Kec.Kretek kurang lebih 27 Km dari Yogyakarta ke arah Selatan. Termasuk kawasan
ini : Petilasan Parangkusumo, Pemandian Parangwedang, Makam Syeh Maulana;
Magribi, Makam Syeh Bela Belu, Makam Ki Ageng Selohening, Tempat Pelelangan
Ikan ( TPI ) Depok, Gumuk Pasir ( Barchan ) Atraksi / Event Wisata Upacara
Pisungsung Jaladri Bekti Pertiwi, Uparaca Labuhan Alit Kraton Ngayogyakarta,;
Labuhan Hondodento, Perayaan Peh Cun, Ziarah Malam Selasa Kliwon dan Jum’at
Kliwon, Gelar Seni Malam 1 Suro, Pentas Seni Budaya ( Liburan dan Lebaran ),
Festival Layang-layang, Volley Pantai. (2)
Keraton
Sultan Yogya
Kraton ( istana )Kasultanan Yogyakarta
terletak dipusat kota Yogyakarta. Kraton Yogyakarta berdiri megah menghadap ke
arah utara dengan halaman depan berupa alun- alun ( lapangan ) yang dimasa lalu
dipergunakan sbg tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi para prajurit,
dan tempat penyelenggaraan upacara adat. Pada tepi sebelah selatan Alun- alun
Utara , terdapat serambi depan istana yang lazim disebut Pagelaran. Ditempat
ini Sri Sultan, kerabat istana dan para pejabat pemerintah Kraton menyaksikan
latihan para prajurit atau beberapa upacara adat yang diselenggarakan di alun –
alun utara. Dihalaman lebih dalam yang tanahnya sengaja dibuat tinggi (
sehingga disebut Siti Hinggil ), terdapat balairung istana yang disebut bangsal
Manguntur Tangkil. Ditempat ini para wisatawan dapat menyaksikan situasi
persidangan pemerintahan Kraton jaman dulu, yang diperagakan oleh boneka –
boneka lengkap dengan pakaian kebesaran. Kratron sebagai pusat pemerintahan dan
Kraton sbg tempat tinggal Sri Sultan Hamengku buwono beserta kerabat istana,
dipisahkan oleh halaman dalam depan yang disebut Kemandungan utara atau halaman
Keben, karena disini tumbuh pohon yang dalam tahun 1986 dinyatakan Pemerintah
Indonesia sbg lambing perdamaian , dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Internasional.
Didalam lingkungan Kraton sebelah dalam terdapat halaman Sri Manganti dengan
regol ( gapuro ) Danapratopo yang dijaga sepasang Dwarapala : Cingkarabala dan
Bala Upata, Bangsal Traju Mas, Bangsal Sri Manganti yang kini dipergunakan
untuk menyimpan beberapa perangkat gamelan antik dan dari masa silam, yang
memiliki laras merdu sewaktu diperdengarkan suaranya. Didalam halam Inti yang
terletak lebih kedalam,para wisatawan dapat menyaksikan gedung Kuning yang
merupakan gedung tempat Sri Sultan beradu, bangsal Prabayekso. Bangsal manis,
tempat Sri Sultan menjamu tamu – tamunya, lingkungan Kasatriyan sbg tempat
tinggal putera ; putera Sri Sultan yang belum menikah. Tempat terakhir ini
terlarang bagi kunjungan wisatawan. Kraton merupakan sumber pancaran seni
budaya jawa yang dapat disaksikan melalui keindahan arsitektur dengan ornamen-
ornamennya yang mempesonakan. Setiap hari Karaton terbuka untuk kunjungan
wisatawan mulai pukul 08.30 hingga pukul 13.00, kecuali hari Jum;at Kraton
hanya buka sampai dengan pukul; 11.00. (2)
Pintu Gerbang Donopratopo
berarti “seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan
sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu”. Dua patung raksasa yang terdapat
di samping, salah satunya menggambarkan kejahatan dan yang lain menggambarkan
kebaikan. Hal ini berarti “Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana
yang jahat “. (3)
Alun-alun
Lor (Utara) adalah alun-alun di bagian
Utara Keraton Yogyakarta. Tanah yang lebar dan lapang ini dahulu digunakan
sebagai tempat latihan mental dan ketangkasan prajurit. Alun-alun Lor juga
menjadi tempat penyelenggaraan acara Sekaten, tempat berkumpulnya rakyat untuk
menghadap sultan, dan tempat penyelenggaraan berbagai upacara kenegaraan. (3)
Alun-alun
Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta.
Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai pengkeran. Pengkeran berasal
dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut
sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang
keraton.(3)
“Siti
Hinggil Kidul” atau “Sasana Hinggil Dwi Abad” terletak di sebelah Utara
alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter
persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 sentimeter
dari permukaan tanah di sekitarnya. Bangunan ini dibangun pada masa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I
(1755-1792). Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII
kompeks bangunan Siti Hinggil Kidul mengalami perbaikan serta ditambah jumlah
bangunannya. Siti Hinggil Kidul ini untuk saat sekarang lebih terkenal dengan
nama Sasana Hinggil Dwi Abad.Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk
menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara
Grebeg dan pada zaman dulu juga digunakan untuk tempat menyaksikan adu manusia
dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang, Siti Hinggil Kidul juga
digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit,
pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting yang terdapat dalam
kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya; Tratag Rambat dan Bangsal Siti
Hinggil. (3)
Taman Sari
Taman Sari berarti taman yang indah. Sekitar 10
menit jalan kaki dari Istana Sultan baratdaya. Taman Sari dahulu kala merupakan
taman air yang indah dan mutakhir.Area antara tenggara taman sampai perempatan
kota disebut Kampung Segaran yang dahulu kala terisi dengan air. Area
ini sekarang dinamakan Suryoputran. Segaran berasal dari bahasa jawa yang
berarti laut buatan. Setiap Sultan mengunjungi taman, Beliau kesana dengan
mendayung perahu melewati jembatan gantung yang disebut Kreteg Gantung
yang terletak didepan gerbang istana, wilayah utara atau selatan Kemandungan.
Reruntuhan dari gedung yang berhubungan dengan jembatan gantung masih dapat
dilihat sampai sekarang. Disamping transportasi air ada juga jalan keluar bawah
tanah atau lorong dari Kraton Yogyakarta leading menuju salah satu bangunan
taman yang dinamakan Pasarean Ledok Sari. Taman sari dahulu selain dijadikan
tempat bersantai dan hiburan juga merupakan tetapi juga merupakan sistem
pertahanan yang unik. Sementara air tidak hanya untuk memperindah taman tetapi
juga sebagai senjata rahasia menghindari bahaya. Ketika musuh menyerang, Sultan
dan keluarganya melarikan diri melalui terowongan bawah tanah. Ketika semuanya
sudah berada di tempat aman, Gerbang air akan terbuka dan Air akan membanjiri
musuh hingga tenggelam. (2)
BENTENG VREDERBURG
Malioboro.
Keramaian dan
semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya pedagang kaki lima yang
berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir semuanya yang
ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para
wisatawan. Mereka berdagang kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain
kerajinan ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk
pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit, hiasan rotan, wayang kulit, gantungan
kunci bambu, sendok/garpu perak, blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa],
kaos dengan berbagai model/tulisan dan masih banyak yang lainnya. Para pedagang
kaki lima ini ada yang menggelar dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang
hanya menggelar plastik di lantai. Sehingga saat pengunjung Malioboro cukup
ramai saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi
para pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan
kiri.Ujung jalan Malioboro yang satu terhubung dengan jalan Mangkubumi dan
dibatasi oleh stasiun kereta api Tugu dan ujung satunya lagi terhubung dengan
jalan A.Yani. Dalam areal kawasan Malioboro dan sekitarnya banyak lokasi lain yang
dapat dikunjungi misalnya Siti Inggil Keraton Jogjakarta, pasar Beringhardjo,
benteng Vredeburg, Gedong Senisono, Museum Sono Budoyo dan lainnya. Saat ini
Malioboro bisa dikatakan sebagai jantung keramaian kota Jogja, karena banyaknya
pedagang dan pengunjung yang berlalu lalang. Kawasan yang sangat ramai baik di
dua sisi jalan yang berkoridor maupun pada jalan kendaraan walau satu arah dari
jalan Mangkubumi akan tetapi berbagai jenis kendaraan melaju dan memenuhi di
jalan tersebut dan tidak heran kalau terjadi kemacetan. Dari kendaraan
tradisional seperti becak, dokar/andong/delman, sepeda, gerobak maupun
kendaraan bermesin seperti mobil, taxi, bis kota, angkutan umum, sepeda motor
dan lainny.Kawasan Malioboro sebagai salah satu kawasan wisata belanja andalan
kota Jogja, ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat
perbelanjaan, dan tak ketinggalan para pedagang kaki limanya. Untuk pertokoan,
pusat perbelanjaan dan rumah makan yang ada sebenarnya sama seperti pusat
bisnis dan belanja di kota-kota besar lainnya, yang disemarakan dengan
nama-merk besar dan ada juga nama-nama lokal. Barang yang diperdagangkan dari
barang import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan barang
elektronika, mebel dan lain sebagainya. Juga menyediakan aneka kerajinan, misal
batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran
mata uang asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.Namun jangan
ketinggalan untuk menelusuri jalan Malioboro yang sudah sangat terkenal
tersebut. Bisa dengan berjalan kaki dari ujung ke ujung pada dua sisi jalan,
atau dengan ‘dokar’ [delman/andong] dan becak khas Jogja. Di siang hari kawasan
Malioboro sangat ramai pengunjung baik warga maupun wisatawan, terlebih lagi
bila musim liburan sekolah tiba atau ada hari libur nasional yang cukup
panjang. Sebenarnya jalan Malioboro dari ujung ke ujung hanya berjarak lebih
dari satu kilometer saja, dan pada dua sisinya banyak sekali toko, kantor,
rumah makan dan mall serta pusat perbelanjaan, menariknya lagi banyak sekali
pedagang kaki lima yang berjajar dibawah koridor jalan yang memayungi dari
terik panas matahari maupun hujan. Keramian ini dimulai sejak pagi hingga
sembilan malam saat pusat perbelanjaan pada tutup, namun denyut kehidupan
kawasan Malioboro tidak pernah berhenti karena sudah siap warung-warung lesehan
menggelar dagangannya. Untuk bermalam di sekitar Malioboro juga mudah didapat
penginapan dari tipe melati hingga hotel bintang lima. Para wisatawan tidak
akan kuatir untuk dapat menikmati pula hari-hari liburannya di kota Jogja
hingga larut malam sekalipun. Mereka dapat menikmati hidangan-hidangan di
warung lesehan di sepanjang jalan Malioboro, makanan yang disediakan dan
ditawarkan dari jenis makanan khas Jogja yaitu nasi gudeg dan ayam goreng dan juga
makanan Padang, ChinesseFood dan lain sebagainya. Saat menikmati hidangan yang
disajikan akan dihibur oleh musik dari pedagang dan pengamen jalanan yang cukup
banyak dari yang hanya sekedar bawa gitar adapula yang membawa peralatan musik
lengkap.Ada sebuah perhatian khusus bagi wisatawan yang hendak menikmati warung
lesehan yaitu menanyakan dulu harga makanan yang hendak dipesan sebelum ada
sebuah tagihan yang kurang berkenan dihati, sampai-sampai hal ini menjadi
perhatian khusus dari pemerintah daerah yaitu dengan menggantung papan di
kawasan Malioboro dengan tulisan “Mintalah daftar harga sebelum anda memesan”.
Carilah warung makan yang dianggap wajar dalam memberi harga dari sebuah
hidangan makan dan minuman yang disajikan, memang perbuatan menaikan tarif yang
tidak wajar ini sangat menurunkan citra warung lesehan yang ada di kawasan
Malioboro. Sangat disayangkan kalau para wisatawan berkunjung ke Jogjakarta dan
sekitarnya serta khususnya kawasan Malioboro ini hanya satu hari berkunjung.
Inilah menyebabkan banyak wisatawan domestik maupun asing menghabiskan semua
waktu liburnya yang cukup panjang hanya untuk kunjungan wisata ke Jogja dan
sekitarnya.(2)
Langganan:
Postingan (Atom)